BUDIDAYA GAHARU
Alternatif Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat dan Pelestarian Hutan
Sudah gaharu, cendana pula! Sudah tahu, bertanya pula! Peribahasa tersebut sangat sering kita dengar sehari-hari. Akan tetapi tidak banyak dari kita yang tahu apakah gaharu tersebut dan darimana ia dihasilkan. Gaharu sebenarnya merupakan substansi aromatik (aromatic resin) yang berbentuk gumpalan atau padatan berwarna coklat muda sampai kehitaman yang terbentuk pada lapisan dalam kayu tertentu. Timbulnya gaharu ini bersifat spesifik, dimana tidak semua pohon dapat menghasilkan substansi aromatik ini.
Penyebaran alami marga Aquilaria sangat luas mulai dari India, Pakistan, Myanmar, Thailand, Kamboja, Malaysia, Philipina dan Indonesia. Enam diantaranya ditemukan di Indonesia (A. malaccensis, A. microcarpa, A. hirta, A. beccariana, A. cumingiana dan A. filarial) yang terdapat hampir di seluruh Nusantara, kecuali Jawa, Bali dan Nusa Tenggara. Akan tetapi seiring dengan maraknya illegal logging dan perburuan gaharu, pohon penghasil gaharu saat ini sangat jarang ditemui di hutan bahkan telah termasuk jenis yang hampir punah oleh CITES.
HHBK Andalan
Gaharu dikenal karena memiliki aroma yang khas sehingga digunakan untuk berbagai keperluan seperti parfum, pewangi ruangan, hio, obat, dan sebagainya. Popularitas dan tingginya harga gaharu sudah dikenal lama. Saat ini, harga gaharu kualitas super dapat mencapai Rp 5 juta per kilogram, bahkan dapat mencapai US $ 10.000 per kg di tingkat pengguna akhir. Di tingkat pengumpul di Kalimantan harga gaharu dapat mencapai Rp. 600.000,- per kg.
Kontribusi gaharu terhadap perolehan devisa juga menunjukkan grafik yang terus meningkat. Menurut BPS, nilai ekspor gaharu dari Indonesia tahun 1990-1998 adalah sebesar US $ 2 juta, dan pada tahun 2000 meningkat menjadi US $ 2,2 juta. Namun sejak 2000 sampai akhir 2002, ekspor menurun menjadi 30 ton dengan nilai US $ 600.000. Penurunan ini disebabkan oleh semakin sulitnya gaharu ditemukan.
Mempertimbangkan harganya yang sangat istimewa bila dibandingkan hasil hutan lainnya, gaharu dapat dikembangkan sebagai salah satu komoditi hasil hutan bukan kayu (HHBK) andalan alternatif untuk penyumbang devisa sektor kehutanan selain dari hasil hutan kayu.
Budidaya Gaharu : Peningkatan Kelestarian Hutan
Nilai jual gaharu yang tinggi ini seharusnya dapat mendorong masyarakat untuk membudidayakannya. Selama ini gaharu yang dipanen umumnya berasal dari pohon gaharu yang tumbuh alami di hutan. Jika dahulu masih terdapat kearifan tradisional dimana untuk menjamin kelestarian pohon induknya, hanya bagian yang mengandung gaharunya saja yang ditoreh tanpa menebang pohonnya, saat ini pemanenan dilakukan dengan langsung menebang pohonnya. Akibatnya semakin sedikit pohon-pohon induk gaharu yang terdapat di alam.
Walaupun tidak seorangpun yang meragukan prospek ekonominya, sejauh ini upaya peremajaan dan budidaya gaharu belum begitu dikenal. Bukan tidak ada penelitian yang menunjukkan besarnya peluang pengembanganya, akan tetapi akibat lemahnya publikasi dan tindak lanjut terhadap hasil penelitian tersebut menyebabkan usaha pengembangan gaharu sangat jauh tertinggal dibandingkan jenis pohon lainnya, misalnya, jati emas atau jati super yang didengung-dengungkan akan memberikan nilai ekonomi yang cukup besar sehingga penanaman jenis ini mewabah di mana-mana, walaupun kemudian penanaman jenis ini tidak direkomendasikan.
Penelitian Litbang Kehutanan dan lembaga riset lainnya menunjukkan bahwa gaharu yang timbul disebabkan oleh terjadinya infeksi yang dialami pohon gaharu tersebut. Para peneliti menduga terdapat tiga hal penyebab proses infeksi, yaitu (1) infeksi jamur seperti Fusarium oxyporus, F. bulbigenium dan F. laseritium., (2) perlukaan dan (3) proses non-phatology. Terjadinya luka pada pohon dapat mendorong munculnya proses penyembuhan yang akan menghasilkan gaharu.
Penanaman dapat dilakukan pada lahan terbuka dengan sistem monokultur, tetapi lebih disarankan dibawah tegakan seperti Sengon, Petai, Gamal, dan Mahoni baik dengan sistem tumpang sari maupun campuran. Pohon gaharu umumnya dapat ditanam pada lokasi dengan ketinggian 5 – 700 mdpl dengan curah hujan 6 bulan dan sepanjang tahun lebih disukai.
Tanaman gaharu dapat dipanen setelah berumur 9-10 tahun. Setelah pohon berdiameter 10 cm (kira-kira pada umur 5 tahun), proses inokulasi dapat dilakukan dengan cara (1) melukai bagian batang pohon, (2) menyuntikkan mikroorganisme jamur Fusarium, (3) menyuntikkan oli dan gula merah, atau dengan (4) memasukan potongan gaharu ke dalam batang tanaman. Produksi gubal gaharu mulai terbentuk setelah satu bulan penyuntikan dengan tanda-tanda pohon tampak merana, dedaunan menguning dan rontok, kulit batang rapuh, jaringan kayu berwarna coklat tua dan mengeras, dan jika dibakar akan mengeluarkan aroma khas mirip kemenyan. Gaharu dapat dipanen 3 – 4 tahun kemudian.
Jumlah produksi gubal gaharu dapat beragam tergantung kualitas pohon dan tempat tumbuhnya dengan rata-rata 2 kg per pohon. Dengan jarak tanam 3 x 3 m atau 1100 pohon per ha, maka akan dihasilkan sekitar 2 ton gaharu/ha. Jika kita asumsikan bahwa gaharu yang dihasilkan hanya kualitas rendah dengan harga Rp 250 - 300 ribu per kilo maka akan diperoleh pendapatan Rp 550 - 660 juta per ha. Bagaimana jika dihasilkan tersebut gaharu kualitas super dengan harga Rp 600 ribu pada pedagang pengumpul ? Suatu jumlah yang sangat fantastis untuk usaha lebih kurang 10 tahun.
Terdapat berbagai pilihan untuk menggalakkan budidaya gaharu, antara lain melalui (1) program hutan rakyat gaharu, dan (2) program hutan kemasyarakatan. Dalam program hutan rakyat, masyarakat diharapkan secara swadaya melakukan penanaman gaharu pada lahannya sendiri terutama pada lahan kosong (tidak produktif). Agar masyarakat mau menanam gaharu, selain informasi tentang peluang dan teknik pengembangan gaharu, masyarakat juga harus diberikan insentif, seperti pengadaan bibit dan inokulasi mikroorganisme penyebab gaharu. Pengadaan bibit dan inokulasi dapat dilaksanakan oleh pemerintah yang kemudian disalurkan kepada petani secara cuma-cuma atau dengan kredit. Dalam prakteknya pengembangan hutan rakyat gaharu ini dapat dikombinasikan dengan tanaman semusim atau tahunan.
Sedangkan penggalakan program hutan kemasyarakatan didasarkan pada paradigma pembangunan kehutanan community based development yang berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dalam sistem hutan kemasyarakatan, masyarakat diperbolehkan menanam gaharu bersama-sama dengan tanaman pertanian dan kehutanan lainnya pada lahan hutan, salah satunya dengan sistem agroforestry.
Berbagai praktek agroforestry menunjukkan bahwa sistem ini memberikan dampak ganda berupa peningkatan kesejahteraan masyarakat di satu sisi dan kelestarian sumberdaya hutan dan lahan disisi lain. Selain memperoleh kesejahteraan dari tanaman gaharu dan tanaman kehutanan, masyarakat juga dapat memanfaatkan lahan diantara tanaman tersebut untuk tanaman semusim. Teknik ini memberikan pengaruh positif terhadap produktivitas tanah berupa meningkatnya ketersediaan unsur hara dan bahan organik serta menurunnya kemasaman tanah. Teknik ini juga dapat menekan laju erosi tanah sehingga juga cocok untuk menanggulangi lahan kritis.
Adanya peningkatan kesejahteraan dari budidaya gaharu ini akan mengurangi tekanan masyarakat terhadap sumber hutan dalam bentuk illegal logging dan perambahan lahan bahkan masyarakat secara sadar akan mempertahankan setiap jengkal hutan dari kerusakan, apapun penyebabnya. Tentu saja agar program penanaman gaharu ini berhasil perlu didukung dengan kelembagaan dan peraturan yang jelas, serta dukungan semua pihak. Jadi mengapa kita tidak tanam gaharu? ***fzn.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pliiss komentarnya ya..?? di tunggu..